13/03/2013

Gereja yang Berziarah di Dunia Digital

Perjalanan yang belum berakhir

Sejak mengenal computer untuk pertama kalinya di tahun 1997, ada sebuah kekaguman yang tiada habisnya hingga kini. Bagaimana bisa, mengetik di keyboard, muncul tulisan di layar dan hanya disimpan di sebuah disket? Tidak ada lagi kertas, pena, dll. Menulis Karya tulis di Mertoyudan menjadi pengalaman mencengangkan. Dunia digital menjadi keajaiban baru. Tapi apa yang dimaksud dengan dunia digital? 

Digital diambil dari bahasa Yunani (digitus) yang berarti jari jemari. Jari-jemari kita berjumlah sepuluh (10). Nilai sepuluh itu terdiri dari 2 radix, yaitu 1 dan 0. Maka, “digital” merupakan penamaan suatu keadaan bilangan yang terdiri dari angka 0 dan 1. Atau gambaran mudahnya, seperti saklar lampu on dan off. Komputer juga merupakah sebuah rangkaian listrik yang diatur sedemikian rupa dalam situasi on dan off. Sebuah sistem komputer menggunakan sistem digital sebagai basis datanya. dapat disebut juga dengan Bit (Binary Digit). Bayangkan, ada 100 lampu diletakkan dalam barisan 10×10. Saat dinyalakan dengan kombinasi tertentu, keluar gambar D, atau S atau X.  Bagaimana kalau lampunya sampai Jumlah Jutaan? Bagaimana kalau lampunya berwarna-warni? Bisa membentuk banyak gambar/karakter, dan semuanya hanya atas dasar digital: on dan off, 1 dan 0, mati lan urip

Dari sistem digital inilah, muncul penyimpanan secara digital. Hasil penginderaan mata dan telinga bisa dipindai menjadi data digital dan karenanya bisa dipindah dengan mudah. Disimpan di flashdisk, rekaman musik orkestra bisa dengan mudah dipindah dan dibawa, tanpa menyewa semua crew orkes. Gambaran matahari terbit nan indah bisa selalu dipandang tanpa harus keluar rumah dan bangun pagi-pagi. Foto indah sunset pun bisa dilihat di siang hari. 

Dunia digital menjadi semakin menarik dan menantang dengan adanya internet. Intenet (interconnection networking) pada intinya adalah sebuah jaringan relasi. Relasi antar komputer di seluruh dunia. Semua terhubung dan semua bisa menjadi pusat. Dengan adanya internet, manusia bisa membuka web, email, social-media, dll. Yang jelas, internet menyediakan cara berbagi “barang digital” dengan lebih mudah dan jangkauan lebih luas. Bisa dibayangkan, hasil penginderaan (dan hasil pemikiran) kita bisa dengan mudah disebar ke seluruh dunia. 

Tahun 2001, internet menjadi kejaiban kedua yang saya temui. Bagaimana bisa, kirim surat tanpa kertas, amplop dan perangko, sampai ke Luar Negeri. Benar-benar luar biasa. Tidak hanya itu, internet juga menyediakan bahan-bahan yang hampir tak terbatas, untuk dipelajari. Dunia seakan kini seluas layar monitor. Bukan buku jendela dunia, tapi browser-lah jendela dunia. 

Mukjijat itu ternyata tak berhenti di sini. Keajaiban dunia digital masuk era baru, saat diperkenalkan mobile computing. Komputasi-bergerak, seakan menawarkan manusia untuk dengan leluasa melakukan segala kegiatan ber-digital dalam seluruh pergerakannya. Kemajuan tehnologi nirkabel membuat dunia digital semakin melaju pesat. Arti “bergerak” / mobile menjadi nyata dengan tehnologi nirkable. Apa itu nirkabel? Kata-kata yang sering kita gunakan: sinyal, EDGE, 3G, bluetooth, wi-fi, hot-spot, adalah istilah dunia nirkabel. Tehnologi ini bukan barang baru, kita sejak lama sudah kenal gelombang radio, siaran TV, remote kontrol, dll. Hanya saja, kini cara itu diperbaharui untuk membagikan “barang-barang digital” 

Handphone yang dulu sebatas alat mengirim dan menerima teks dan suara, kini bertambah fungsi mengirim dan menerima dunia digital, maka dikenallah istinalah smartphone. Smartphone sudah ada sejak tahun 1992 (IBM pertama kali mempublikasi penemuannya). 1996, Nokia memperkenalkan smartphone dengan harga sedikit lebih “terjangkau”. Barulah tahun 2002, dunia smartphone mengalami revolusi akibat pergerakan Blackberry (RIM). Semenjak itulah, perkembangan tehnologi mobile tak terbendung lagi.

Manusia yang ikut berjalan

Bila perjalanan diatas adalah tehnologinya, ternyata manusianya juga melakukan perjalanan. Ada sebuah teori yang memilah manusia menurut masa dia hidup. Walau tidak bisa menggambarkan dengan tepat situasi kemanusiaan zaman ini, semoga bisa membantu pemetaan siapa saja umat kita.

1.  Silent Generation
Generasi Pre Baby Boom lahir pada tahun 1925-1945 dan tahun-tahun sebelumnya. Generasi ini dianggap “orang lama” yang mempunyai banyak pengalaman kerana telah lama hidup.

2. The Baby Boom (lahir antara 1946 – 1964)
Generasi The Baby Boom adalah generasi yang lahir antara tahun 1946 hingga 1964. Istilah “baby boom” digunakan Don Tapscott merujuk pada tingkat kelahiran bayi  yang tinggi selepas Perang Dunia Kedua. Sewaktu peperangan, pasangan menangguhkan kelahiran anak, karena faktor kesusahan semasa perang. Jumlah kelahiran bayi “meledak” setelah masa perang.
Mereka adalah kelompok generasi yang idealis. Generasi ini hidup berdikari dan tidak lagi terlalu bergantung kepada keluarga. Mereka mementingkan pekerjaan. “The baby boom” adalah generasi penyiaran (broadcasting). TV, radio mempengaruhi pemikiran dan keputusan mereka.

3. The Baby Bust (lahir antara 1965 – 1976) – GEN X
Selepas era “the baby boom”, tingkat kelahiran di Amerika Serikat turun dengan mendadak. Istilah “the baby bust”, istilah yang sering dipakai ialah “Generation X”, mengambil tajuk novel Douglas Coupland. “X” merujuk kepada kumpulan yang terpinggir dalam masyarakat walaupun mereka mendapat pendidikan yang lebih baik berbanding “the baby boom”.  Mereka lahir tak lama setelah muncul industri komputer (Microsoft dan Apple didirikan tahun ’70-an). Generasi ini juga sering disebut generasi internet, karena mulai mengenal internet, video game, PC, dll.  Bagi generasi ini, internet adalah dunia yang terbuka untuk siapa saja.

4. The Echo of the Baby Boom (lahir antara 1977 – 1997) – GEN Y
Ini dikenali sebagai Gen Y atau Millennial Generaion. Mereka mengenal komputer sejak awal, mengenal banyak pilihan saluran TV. Generasi inilah yang mengenal relasi antar manusia dalam  social-networking. Secara umum bisa digambarkan, generasi ini mewakili angkatan baru yang tumbuh dalam tehnologi informasi secara baru

5. Generation Net (lahir antara 1998 hingga sekarang) – GEN Z
Mereka juga dikenali sebagai Gen Z. Umur mereka yang paling tua sekarang ialah 15 tahun. Generasi ini bisa disebut highly connected, generasi yang selalu terhubung dalam jalinan dunia digital. Mereka hidup di zaman media komunikasi terkini, dengan internet, instant messaging, bbm, mp3, smartphone. Sering pula dikenal sebagai generasi yang punya identitas khusus di dunia digital.

Gereja yang ikut berjalan

Kalau sekarang manusia dan dunia sudah ikut berjalan, apakah Gereja juga ikut berjalan? Pasti. Karena Gereja juga ada di dalam dunia. Namun demikian, bagaimana perjalanan Gereja? Apakah sudah dalam kecepatan yang sama, apakah sudah ada dalam bahasa yang sama? Itulah pertanyaannya. 

Perkembangan tehnologi dalam 25 tahun terakhir ini, ikut menyumbangkan cara-cara baru manusia dalam berkomunikasi. Manusia punyak akses cepat ke berbagai informasi di “dunia maya”; berita, opini, teks, gambar dll, bisa dibagi ke seluruh dunia dengan sekejap. Yang berubah tidak hanya sekedar tehnologinya, tapi komunikasinya, manusianya juga ikut berubah. Paus Benedictus XVI dalam pesan WCD 2012 menyebutkan “Tehnologi baru tidak hanya mengubah cara kita berkomunikasi tetapi komunikasi itu sendiri, sedemikian banyak sehingga bisa dikatakan bahwa kita hidup dalam periode perubahan budaya secara luar biasa besarnya.” 

Gereja sebagai bagian dari dunia pun nampaknya perlu berpikir ulang tentang pendekatan pewartaan Kristus di zaman ini. Jangan kaget, karena Gereja pernah mengalaminya pula. Para Rasul harus perpikir ulang tentang pewartaaan, saat mereka berhadapan dengan dunia Yunani dan Romawi. Merekapun tak kenal lelah belajar tentang budaya baru dan tak henti-hentinya mencari cara agar pewartaan iman akan Kristus diterima oleh manusia zaman itu. Bukankan kita pun adalah rasul-rasul di zaman kini? Maka menjadi panggilan bagi kita memikir kembali cara-cara baru memperkenalkan Kristus. 

Antonio Spadaro,SJ, pernah menggagas hal ini dalam tulisannya “The new culture of communication and the Catholic media“, tahun 2012.
Gagasan awal yang menarik darinya adalah ajakan untuk memahani “dunia maya” secara baru. Bagi dunia saat ini, ruang digital yang sering disebut “dunia maya” adalah sebuah “dunia nyata” pula. Bukan lagi sekedar “maya”, yang sering disebut kurang penting dibanding dunia nyata. Ruang digital menjadi dunia nyata. Manusia zaman ini, tidak lagi memisahkan secara jelas antara dunia digital dan dunia nyata. Melihat penggunaan tehnologi digital zaman ini, manusia hidup pula di dunia digital secara nyata? Maksudnya apa? Kita lihat saja bagaimana manusia menjadikan internet sebagai salah satu sumber informasi. Tidak lagi harus mendekam di perpustakaan dengan bertumpuk buku, orang belajar. Kini informasi-informasi dari google, dari wikipedia menjadi informasi nyata.  

Perubahan cara hidup manusia itu nyata dalam dunia mobile. Karena dukungan tehnologi, dunia digital bisa diraih dalam sebuah genggaman, dalam sebuah smartphone misalnya. Dunia di genggaman tangan dalam smartphone pun menjadi dunia nyata bagi manusia zaman sekarang. Maka jika Gereja tidak hadir dalam ruang ini, jika Gereja tidak berevangelisasi secara digital, resikonya adalah Gereja tidak ikut “tergenggam” manusia zaman ini. Selama kita tidak hadir “dunia maya”, selama itu pula sebenarnya kita meninggalkan mereka yang hidup di dalamnya. Dunia digital menjadi tempat menggali informasi, berita, membagi ekspresi, beropini, bertanya-jawab, berdebat, singkatnya menjadi tempat manusia berada. Mungkin inilah peluang di zaman kini.

Tugas ini seperti pencarian bahasa baru untuk pewartaan. Manusia berubah dan berjalan, Gereja apakah juga terpanggil untuk berubah dan berjalan mendampingi mereka? Pencarian ini tidak akan berhenti karena dunia juga tidak berhenti berjalan.

Sebagai ilustrasi, ada pula sebuah teori baru dalam dunia tehnologi yaitu, context aware computing. Singkatnya, perangkat-perangkat dibuat dengan kemampuan menyesuaikan konteks penggunanya. Misalnya, cahaya gelap maka monitor otomatis menjadi terang, kemampuan meredam suara sekitar saat smartphone digunakan, dll. Teori ini secara “semena-mena” bisa dipakai secara terbalik. Apa yang terinstall dalam sebuah perangkat, membangkitkan pengguna akan kesadaran tertentu. Bila di handphone terinstall sebuah aplikasi Katolik, pengguna akan dibawa pada kesadaran identitas dirinya adalah umat Allah. Karena teorinya saja baru, tentu begitu banyak kekurangan dalam penerapannya. Namun bukankan menjadi tugas kita untuk terus mencari cara dan bahasa baru untuk mewartakan Kristus? Semoga.