“Dan Aku berkata kepadamu: Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat lagi menolong, kamu diterima di dalam kemah abadi.
Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar; dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.
Jadi, jikalau kamu tidak setia dalam hal Mamon yang tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya?
Dan jikalau kamu tidak setia dalam harta orang lain, siapakah yang akan memberikan kepadamu harta milikmu sendiri?
Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika ia membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”
Semuanya itu didengar oleh orang-orang Farisi, hamba-hamba uang itu, dan mereka mencemoohkan Dia. Lalu Ia berkata kepada mereka: “Kamu membenarkan diri di hadapan orang, tetapi Allah mengetahui hatimu; sebab apa yang dikagumi manusia, dibenci oleh Allah.”
Yesus mengingatkan kita bahwa ukuran sejati seseorang bukan pada hal besar yang tampak, tetapi pada kesetiaan dalam hal kecil. Menulis renungan di web ini juga adalah kesetiaan, hehehehe dan sulit. Di dunia yang serba cepat dan penuh persaingan, kita sering berpikir bahwa yang penting adalah hasil besar, angka tinggi, atau pencapaian yang tampak megah. Namun bagi Tuhan, yang Ia nilai adalah hati yang tulus dan kejujuran di balik tindakan sederhana.
Misalnya, seorang pegawai yang jujur dalam mengisi laporan keuangan kecil lebih berharga di mata Tuhan daripada manajer yang sukses besar tetapi curang. Begitu juga dalam pelayanan, kesetiaan datang bukan dari banyaknya tugas, tetapi dari ketulusan dalam melakukannya.
Yesus juga mengingatkan bahwa kita tidak bisa mengabdi kepada dua tuan — Allah dan Mamon. Harta bisa berguna jika dipakai untuk menolong sesama, tetapi menjadi berhala jika dijadikan tujuan hidup. Maka, gunakanlah harta, waktu, dan kemampuan kita sebagai sarana kasih, bukan sebagai pusat hidup. Di sanalah kita belajar setia — dalam hal kecil, agar dipercaya dalam hal besar oleh Allah sendiri.
