22/09/2005

Mengolah Kitab Suci sebagai Pewartaan

TEKS…teks…teks…teks…

Banyak sekali teks disekitar kita. Mulai dari peninggalan sejarah dalam bahasa dan penulisan kuno sampai dengan teks-teks dalam buku dan apapun jaman sekarang. Teks selalu dibuat dengan pola-pola tertentu sehingga keseluruhan teks tersebut bisa berbicara bagi pembaca. Hasil rangkaian teks tersebut akhirnya mampu menyuarakan kisah atau apa saja dari penulis. Oleh penulis, teks dirangkai mengungkapkan suatu pemikiran, penggambaran pengalaman, maupun suatu bentuk komunikasi dalam bentuk wacana yang sampai kepada pembaca.

Teks sebenarnya tidak hanya susunan huruf demi huruf yang menyimbolkan makna tertentu. Keluasan dan kedalaman kehidupan ini adalah teks itu sendiri yang kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk teks tertulis. Atau dengan kata lain, dibalik makna tekstual dari masing-masing teks, terdapat realitas kehidupan ini. Kehidupan yang sangat luas dan juga sangat dalam tersebut dicoba oleh penulis diungkap lewat teks. Sehingga judul diatas hendak menggambarkan perbedaan itu. TEKS (dengan huruf kapital) merupakan kehidupan itu sendiri dan teks (tidak dengan huruf kapital) adalah rangkaian, atau jalinan yang dirangkai penulis dalam rangka mengungkap kehidupan. TEKS disini bukanlah seperti apa yang tertulis melulu, namun apa saja yang menyangkut kehidupan. Teks, seperti yang tertulis, berusaha mengungkap, menggarap, maupun berbicara tentang kehidupan.

Dengan demikian, ada suatu proses yang harus dilalui oleh teks dalam mengungkap apa saja yang menyangkut kehidupan. Sebagai gambaran, ambilah contoh kegiatan rekam-merekam yang marak dalam dunia yang makin maju ini. Ada suatu pertandingan sepakbola antara PSIS dan PSIM di stadion Kridasana Yogyakarta. Banyak wartawan yang hadir pada waktu itu, mulai dari tabloid Bola, GoSport, sampai stasiun TV swaasta JogjaTV. Masing-masing wartawan hendak menangkap peristiwa pertandingan tersebut dalam masing-masing media. Hasilnya, munculah tulisan di koran, laporan radio, maupun berita TV. Realitas pertandingan tersebut, dengan segala pernak-perniknya, hendak diulas selengkap mungkin. Namun demikian, pastilah pembaca, pendengar, penonton laporan-laporan tersebut tidak akan mungkin menangkap seluruh realitas di Kridosono. Pastilah ada proses editing demi efisiensi laporan.

Demikian pula dengan usaha seorang penulis teks yang hendak mengungkap dan berbicara tentang kehidupan. Proses yang dilalui adalah pemilihan, penguatan, pendalaman. Proses ini ada dalam bentuk-bentuk komunikasi penulisan. Proses kreatif penulisan dari budaya mana saja pastilah melalui ketiga proes tersebut. Proses pemilihan berhubungan dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Maka hal-hal yang tidak berhubungan dengan wacana yang hendak disampaikan penulis, tidak akan dipilih (kisah calo tiket Kridosono yang untung banyak tidak akan masuk tabloid Bola). Pemilihan tersebut didasarkan pada kriteria-kriteria tertentu yang pada akhirnya akan membantu penulis mengungkap kehidupan. Sedangkan proses penguatan (amplification) dilakukan penulis demi membantu pembaca untuk semakin terfokus dengan wacana yang ada. Dalam contoh tadi, peristiwa Gol hasil sundulan kepala seorang penyerang  PSIS akan diulas habis-habisan dengan berbagai sudut pandang. Proses yang ketiga adalah pendalaman. Teks biasanya bersifat egois, mengacu pada dirinya sendiri. Maka proses pendalaman dilakukan sellau mengacu pad pemikiran dari teks itu sendiri.

INJIL…injil…injil…injil…

Bila mendengar kata “Injil” pikiran kita bisa mengasosiasikannya dengan kabar gembira yang diwartakan Yesus, atau bisa juga dengan tulisan teks empat Injil yang ditulis Markus, Matius, Lukas dan Yohanes. Para penulis Injil ini menjalin suatu tulisan yang merupakan hasil pengolahan suatu pemahaman akan suatu peristiwa. Peristiwa Yesus menjadi pokok pokok yang diolah oleh masing-masing pengarang Injil. Peristiwa tersebut mengkin hanya satu, namun ditulis, diungkap dan digarap oleh empat pengarang yang berbeda.

Sebetulnya apa yang dimaksud dengan Injil tersebut? Dalam Matius 1:14, ditulis mengenai ‘Injil Allah”. Kemudian ada juga Injil yang diwartakan oleh Yesus kepada jemaat pertama. Selanjutnya ada juga Injil seperti apa yang bisa kita baca sekarang dalam. Secara lebih sederhana, ada 3 tingkatan pemahaman akan Injil yang pertama adalah apa yang disampaikan Injil Allah, yang kedua adalah apa yang dikatakan tentang hal itu (Yesus diwartakan sebagi pewarta injil), dan kini kita menyebut empat tulisan injil sebagai Injil. Sebagai contoh, ketiga injil sinoptik menceritakan hal yang sama, bila dibandingkan  dengan Yohanes yang menekankan Yesus sebagai Kristus, maka sinoptik menonjolkan Yesus dari Nazaret. Hal ini perlu dimengerti sebagai kerangka penafsiran teks. Penafasiran pada akhirnya tidak bisa berhenti pada satu tafsiran atau satu segi saja. Akhirnya penafsiran harus kembali kepada teks. Sehingga muncul pertanyaan, apakah pewartaan hendak menyampaikan apa yang diwartakan Yesus atau hendak mewartakan ulasan dari masing-masing teks tersebut? Karenanya sangatlah perlu melihat kekhasan masing-masing Injil. Sebagai contoh, perbandingan para penginjil dalam hal mengisahkan Yesus: Markus secara khas berbicara siapakah Yesus itu, sedangkan  Matius akan berbicara tentang Yesus tersebut adalah manusia yang betul-betul menghadirkan Allah, kemudian Lukas akan berbicara tntang  Yesus yang menunjukkan kerahiman Ilahii dan yang terakhir, Yohanes akan berbicara  Yesus sebagai jalan kebenaran dan hidup.

Masing-masing penulis Injil menyampaikan kesaksian iman mereka sekaligus jemaat pertama dengan pola dan jalan yang berbeda-beda. Kondisi Injil menjadi syarat yang harus dilewati untuk sampai pada mengenali makna yang hendak disampaikan Injil. Teks injil beralamatkan jemaat tertentu dengan interese memperkenalkan Yesus bagi komunitas tersebut dalam masing-masing kekhasan penginjil. Perbedaan yang muncul ini dimungkinkan karena adanya perbedaan sumber. Secara umum diteriman,  Markus menjadi sumber bagi Matius dan Lukas. Sedangkan Matius dan Lukas juga menggunakan sumber yang sama namun bukan Markus dan juga sumber-sumber khas Lukas dan Matius. Teori ini dikenal dengan nama teori tiga sumber. Semuanya jelas hendak menyampaikan Yesus yang adalah Kristus. Namun masing-masing penginjil mempunyai kekhasan dalam penceritaannya.

Para penginjil juga akan mengolah INJIL (dalam artian segala peristiwa Yesus sekian abad yang lalu) menjadi injil, yang juga berarti mengolah kehidupan, dengan proses pemilihan, penguatan dan pendalaman. Dalam proses pemilihan, injil akhirnya ditulis setelah penulis menyeleksi teks-teks kehidupan yang ada pada waktu itu. Karena dirasa penting dan pokok bagi pewartaan, maka dilakukan proses pemilihan. Dengan demikian, teks yang sesuai dengan interese penginjil yang khas akan terpilih, demikian pula sebaliknya. Proses amplification juga dilalui teks injil, dengan usaha penulis menjalin rangkaian teks. Dengan mengikuti polanya sendiri, penulis akan memberi pelebaran atau penguatan pada teks-teks yang sesuai dengan wacana umum yang hendak diurai oleh penulis. Sebagai contoh, Lukas akan memperlebar dan memperkuat teks perjalanan Yesus menuju Yerusalem demi wacana kehidupan yang hendak diungkap oleh Injil Lukas. Demikian pula dengan proses pendalaman. Teks kehidupan yang ditulis mengalami pendalaman, sehingga teks tersebut mempunyai makna yang lebih bagi pembacanya. Proses pendalaman kelihatan dengan membandingkan misalnya teks sinoptik. Mungkin kisah yang diceritakan adalah sama namun akhirnya menjadi berbeda cara penceritaannya. Perbedaan tesebut membawa pesan bagi masing-masing pembacanya.

Hasilnya…?

Sebuah teks Injil berbicara tentang kehidupan lewat proses pemilihan, penguatan dan pendalaman menghasilkan sebuah tiga buah pemahaman. Ketiga hasil jalinan tersebut adalah gagasan tentang Yesus yang Kristus, kehidupan iman para murid, dan gaya hidup gereja pertama. Tiga pemaknaan ini sangat berguna (atau malah mutlak) bagi penafsiran Injil.

Tiga hasil tersebut pada akhirnya dapat dijadikan prinsip dalam menganalisa teks Kitab Suco. Prinsip pertama adalah Yesus adalah Kristus. Analisa ahirnya harus bersifat Kristosentris, berpusat pada Kristus. Usaha menelaah sebuah teks harus bercermin pada Yesus sebagai Kristus tersbut. Segala kisah berpusat pada kenyataan Yesus Kristus. Teks mendapatkan maknanya dalam pengertian Kristosentris. Prisip yang kedua adlah kehidupan para murid, atau perihal kemuridan. Makna suatu teks akhirnya membentuk suatu sikap, mentalitas, jiwa maupun spritualitas pengikut Kristus. Sedangkan prisip yang terakhir adalah bahwa teks berbicara soal gaya hidup Gereja pertama

Ketiga hasil jalinan teks tersebut akhirnya oleh usaha penafsiran menjadi prisip dalam membaca teks. Semua hal tersebut diamati, dan ditangkap oleh persepsi pembaca. Dengan tiga prisip tersbut, banyak teks-teks sulit yang akhirnya dapat dibaca dengan mudah. Mungin bagi pembaca kebanyakan, Kitab Suci, secara khusus Injil, dipandang sebagai buku yang membingungkan. Banyak orang jatuh pada pertanyaan, lalu sebenarnya kejadian yang benar dan arti yang benar itu bagaimana. Seakan-akan jalinan teks dibiarkan tidak terurai namun dicari dibaliknya. Sangat sulit.

Selain tiga prinsip yang sebenarnya membutuhkan akes informasi yang lebih, juga ada tolok ukur penafsiran. Yang pertama adalah apakah pada akhirnya penafsiran itu membuar kita semakin mengerti dan memahami Kitab Suci. Kalau semakin membuat bingung dan tidak jelas, tinggalkan saja penafsiran tersebut. Dan yang kedua adalah apakah penafsiaran atau penjelasan akhirnya membantu kita untuk semakin lebih mengalami kehadiaran Yang Ilahi yang hendak bersabda dalam Kitab Suci. Yang ketiga, apakah pengolahan teks tersebut membantu memperteguh dan melegakan walau juga pada saat-saat susah. Dan yang terakhir adalah apakah penafsiran akhirnya membawa kita pada sikap berbesar hati dan semakin beriman.

Tidak dapat dipungkiri, teks sebagai jalinan mengandung banyak misteri. Karena itulah maka ada ilmu penafsiran. Pengenalan teks yang baik akan membantu penafsiran. Oleh sebab itu pengenalan proses maupun hasil serta masud teks akhirnya akan semakin memperdalam teks. Penafsisarn harus sedekat mungkin melihat teks, tidak menambah dan mengurangi, seketat mungkin mendekati teks, sekaligus seluas mungkin mengungkapkan penghayatannya. Dengan demikian, maka teks akan semakin berbicara kepada pembaca dan Yesus yang Kristus tersebut akan semakin kita kenal.