31/12/2005

PURGATORY

0.Pengantar

Purgatory[2], atau sering disebut Api Penyucian adalah salah satu ajaran Gereja Katolik mengenai proses pemurnian jiwa yang terjadi antara kematian dan persatuan dengan Allah. Dalam Gereja dikenal praktik mendoakan arwah yang masih dalam purgatory. Paham teologis ini ternyata mempunyai sejarah panjang dalam Gereja. Tema purgatory sendiri biasanya dibahas dalam kerangka pembicaraan tentang eskatologi.

Secara umum, purgatory dalam agama Katolik juga berhubungan dengan pertanyaan mendasar, yang juga dipertanyakan oleh agama-agama lain, yaitu: bagaimana kelanjutan nasib orang yang sudah mati dan bagaimana kelangsungan hidup seluruh dunia. Manusia yang masih hidup belum pernah mempunyai pengalaman mati, maka segala macam diskusi, reflesi dan juga spekulasi muncul seputar persoalan ini, kalau orang sudah mati kemanakah ia berada. Pertanyaan yang kedua, perihal kelangsungan seluruh kehidupan ini menyangkut eskaton untuk seluruh dunia. Dunia terus berjalan dalam sejarah, namun akankah semua ini berlangsung untuk selamanya, atau ada situasi akhir untuk seluruh alam semesta. Kedua pertanyaan inilah yang kemudian mengantar Gereja pada refleksi seputar purgatory.

Tulisan ini hendak memaparkan paham mengenai Purgatory. Untuk memperjelas pembahasan, tulisan akan dibagi dalam empat bagian, [1] latar belakang biblis, [2] sejarah pemahaman telogis mengenai purgatory, [3] ajaran Gereja, dan [4] refleksi sistimatis.

1.Latar Belakang Biblis

Sampai saat ini, memang tidak ada teks yang secara langsung dapat difasirkan sebagai dasar biblis mengenai purgatory. Reflesi Gereja didasarkan Kitab Suci. Dalam Kitab Suci sendiri, tidak serta merta terdapat ajaran mengenai purgatory. Gagasan yang mengarah pada purgatory dimulai dalam Perjanjian Lama dan kemudian sampai pada Perjanjian Baru. Dibawah ini akan dipaparkan seputar sejarah eskatologis dari Perjanjian Baru sampai Perjanjian Lama, yang akan menghantar pada dasar biblis purgatory.

1.1. Perjanjian Lama

Kitab Suci Perjanjian Lama tidak secara langsung menjawab soal akhir dunia. Paham Israel sendiri masih seputar situasi Sheol dan Gehenna. Sheol dan Gehenna adalah dunia orang mati, untuk selamanya orang yang sudah mati akan tinggal disitu. Bagi orang normal, biasa-biasa saja, setelah mati mereka akan tidur selamanya di Sheol.  Sedangkan bagi orang jahat, tersedia Gehinna, tempat yang lebih bawah dan lebih gelap daripada Sheol. Ide awal dalam Kitab Suci Perjanjian Lama tidak secara signifikan berbicara mengenai pemurnian, namun lebih berkisah soal kekuatan mutlak maut dan kegelapan abadi yang melingkupi manusia pada masa sesudah kematian. Teks-teks awal dalam Kitab Suci Perjanjian Lama sudah mencoba menjawab pertanyaan mendasar pertama, yaitu soal kemanakan orang-orang mati pergi.

Semua orang mati akan turun ke sheol, disana mereka akan tidur bersama-sama, entah orang baik maupun jahat, kaya maupun miskin, budak maupun orang merdeka (Ayb 3:11-19).  Sheol digambarkan sebagai tempat yang dalam dan gelap, tempat yang terlupakan, terputus dari Allah dan dunia orang hidup yang tinggal diatasnya (Mzm 6:5; 88:3-12). Walaupun dalam beberapa teks, ditulis bahwa kekuatan Allah bisa menjangkau dunia orang mati (Mzm 139:8), namun gagasan yang umum adalah sheol sebagai tempat yang dilupakan, tidak lagi dihiraukan untuk selamanya. Penggambaran sheol secara keseluruhan adalah sebuah kontras dari dunia orang hidup yang berada di atasnya. Namun pengertian akan penghukuman, hukuman bagi yang salah dan anugerah bagi yang benar belum secara nyata muncul disini. Sheol dipahami sebagai sebuah ketiadaan, kegelapan dan keterpisahan abadi (Tabor, 1980, hlm. 59)

Sejak awal abad kedelapan, bangsa Israel didera krisis dalam hal politik, sosial, maupun kekalahan militer. Pertama oleh Asyria kemudian ditaklukkan Babylonia dan Persia, sebagian besar populasi Israel dibuang dan tanah air mereka diduduki. Pada masa inilah beberapa nabi berkarya, dan bermunculan tulisan mereka. Pada teks-teks masa ini, terdapat beberapa gagasan baru mengenai situasi setelah kematian. Pemahaman baru soal eskatologis yang baru sangat berbeda dengan gagasan pada masa sebelumnya. Pada masa ini, muncul paham eskatologi untuk seluruh dunia, restorasi seluruh dunia. Dipahami bahwa akan muncul era baru, Yerusalem Baru, bagi seluruh bangsa Israel. Gagasan mengenai kapan dan bagaimana kedatangan akhir dunia terus berkembang. Paham ini muncul sebagai kelanjutan akan gagasan nasib orang setelah mati. Dalam teks yang muncul setelah masa-masa ini, perhatian eskatologis bertambah soal keadaan dan nasib orang yang sudah mati, yang benar maupun salah, sebelum akhir duni, dan perhatian kedua adalah penghakiman terakhir yang harus dilalui oleh semua orang (Schreiter, 1985, hlm.170)

Sheol menjadi dunia orang mati dan yang sudah istirahat disana tidak akan pernah kembali. Mereka tetap untuk selamanya ada dalam keadaan yang statis, tidur abadi. Daniel 12:2-3 adalah teks yang pertama berbicara dengan cukup jelas mengenai kebangkitan setelah kematian, entah orang baik atau jahat. Kitab kedua Makkabe mereflesikan sebuah perkembangan gagasan mengenai imbalan bagi orang baik. Pengarang tidak hanya percaya akan kebangkitan, paling tidak bagi mereka yang mati sebagai orang benar, tapi juga memaparkan  praktik doa dan persembahan bagi orang yang sudah mati dan percaya bahwa doa itu dapat membantu mereka telah mati (Tabor, 1980, hlm 63).

Dalam perjalanan panjang paham eskatologi inilah, bisa ditelusuri mengenai proses pemurnian setelah kematian. Salah satu bacaan yang bisa dipakai sebagai acuan adalah kitab Makabe.

2 Mak 12:40-45

berkisah soal Yudas yang mengusahakan usaha doa bagi orang Israel yang mati di medan pertempuran namun ternyata didapati membawa jimat dalam tubuh mereka. Oleh hukum Taurat, jimat-jimat dari kota Yamnia tersebut dilarang. Atas prakarsa Yudas, dikumpulkanlah uang dari pasukan, untuk mempersembahkan korban penghapus dosa baig yang telah mati. Dalam tindakan tersebut, Yudas memperhitungkan adanya kebangkitan orang mati.

Teks ini tidak secara langsung berbicara mengenai penyucian setelah kematian seseorang, namun lebih soal kebangkitan orang mati (Finkenzeller, J., 1995, hlm. 15). Para teolog maupun ekseget modern berpendapat bahwa teks ini mendukung doa dan korban yang dilakukan untuk mereka yang telah mati. Karena punya keyakinan akan kebangkitan, maka doa bagi orang yang sudah mati bisa dipahami. Namun, teks ini tidak berbicara apapun mengenai pemurnian atau penyucian yang harus dijalani orang yang sudah mati karena dosa mereka (Lanne, E., 1992, hlm. 15). Teks menjelaskan bahwa doa dan korban bagi mereka yang telah mati akan membantu mereka membebaskan diri dari dosa. Karena mati dengan cara suci atau saleh sangat dihargai, maka mereka yang mati tapi masih ada dalam dosa akan terbantu dengan doa orang yang masih hidup. Dalam konteks peperangan waktu itu, mereka yang mati demi iman dan umat akan mendapat ganjaran kebangkitan.

1.2. Perjanjian Baru

Dalam Kitab Suci Perjanjian Barupun terdapat perkembangan pemahaman mengenai tema keadaan setelah kematian dan juga eskatologi bagi seluruh dunia. Secara umum, ada dua tahap dalam Perjanjian Baru. Tahap pertama, terdapat dalam teks-teks lama, ada pandangan bahwa akhir zaman sudah dekat, Kristus akan datang untuk kedua kalinya. Dalam surat Paulus kepada jemaaat di Tesalonika, terdapat pemahaman bahwa orang yang pada waktu itu masih hidup, tidak perlu mengalami kematian akan bersama-sama Kristus naik ke Sorga. Pada tahap pertama ini, ada masalah baru muncul saat akhir zaman tidak datang secepat yang dinantikan. Karena lama, maka banyak orang-orang akhirnya mati dalam penantiannya. Dalam kondisi yang serba belum jelas dan penuh dengan pertanyaaan, mereka mendoakan orang yang mendahului mereka.

Tahap yang kedua, yang terdapat pada teks-teks yang kemudian, muncul usaha untuk menjawab soal situasi setelah kematian. Awalnya, akhir zaman digambarkan akan datang dengan segera, namun ternyata tidak datang-datang. Orang-orang yang menantinya banyak yang sudah mati. Maka tahap yang kedua adalah usaha menjelaskan dimanakah mereka yang telah mendahului tersebut. Dalam usaha menjawab dua pertanyaan awal mengenai hidup setelah mati dan eskatologi bagi seluruh dunia, dapatlah ditarik gambaran mengenai paham pemurnian dalam Perjanjian Baru.

Ada beberapa teks dalam Kitab Suci Perjanjian Baru yang menunjuk pada proses pemurnian setelah kematia. Dalam Mat 12:32, Yesus menyatakan, “Apabila seorang mengucapkan sesuatu menentang Anak Manusia, ia akan diampuni, tetapi jika ia menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datangpun tidak.”  Teks ini oleh para bapa Gereja menjadi acuan akan purgatoy, menurut St. Isidorus dari Sevilla, kata-kata ini menunjuk bahwa dalam hidup setelah kematian, beberapa dosa akan diampuni dan dimurnikan dengan api penmurnian. Sedangkan menurut St. Agustinus, tidak berarti karena ada kenyataan beberapa pendosa tidak diampuni di dunia pun di dunia orang mati, maka ada pendosa lain yang tidak diampuni didunia ini tapi diampuni di sorga (Lanne, E., 1992, hlm. 14)

1 Kor 3:10-15

Bacaan ini sering kali digunakan dalam tradisi Kristen (biasanya di Gereja Barat) untuk menjadi dasar keyakinan ‘api’ yang akan menyucikan manusia dari dosa dan nodanya.

Konteks surat Paulus kepada jemaat Korintus berhubungan dengan usaha Paulus dan Apollos membangun jemaat atas dasar iman kepada Kristus. Umat Korintus berselisih mengenai wibawa dan peran dari Paulus dan Apollos, dua pewarta yang berperan penting dalam jemaat ini. Jawaban Paulus adalah: hari penghakiman terakhir akan menilai semua yang telah dilakukan manusia selama hidupnya. Ide mengenai api, lautan api nampaknya ada kaitannya dengan gambaran kuno mengenai penghakiman (bdk Kej 19:24). Namun api penghakiman tersebut memang memuat untur pembersihan, apa yang tidak berharga akan disingkirkan (bdk. Yes 1:25; Yer 6:20-30; Mal 3:2-3), yang tidak bersih dan murni tidak akan dapat hidup di hadapan Allah yang benar dan suci (Lanne, E., 1992, hlm.19).

Bagi para ekseget, api dalam teks ini adalah api penghakiman teakhir. Api yang disebutkan tidak ada hubungannya dengan pemurnian atas dosa orang Kristen yang telah mati. Teks ini tidak secara langsung mengajarkan perihal purgatory. Bagi para teolog, tulisan Paulus ini memberi contoh penjelasan mengenai purgatory.

Ada pula teks KS lain yang sering menjadi acuan soal purgatory. Misalnya Kej 3:24, Allah mengusir manusia dari taman Eden dan menempatkan kerup dengan pedang bernyala-nyala untuk menjada pintu masuk Eden dan jalan pada pohon kehidupan. Walau tidak secara langsung dikuti dalam dogma-dogma teologi soal purgatory, tapi cukup berbengaruh pada tradisi pemahaman. Teks lain adalah Mat 5:25-26, yang punya peran penting dalam teologi patristik. Bacaan berksiah soal penjara bagi orang yang punya hutang. Kalau hutang tsb belum lunas, maka orang tersebut masih dihukum. Walau demikian, sebagian Ekseget penjara lebih dipahami sebagai neraka, bukan purgatory.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa memang tidak ada penggambaran atau penjelasan memadai mengenai proses penyucian dalam KS. Namun, KS bisa menjadi titik tolak pemahaman mengenai penyucian, proses yang harus dilalui manusia karena dosanya, agar manusia mampu dan layak memasuki Kerajaan Allah. Konsili yang membahas tema purgatory (Lyon II, Florence, Trente) juga tidak secara langsung menunjukkan argumen biblis dalam menjelaskan doktrin.

2.Sejarah pemahaman teologis purgatory

Pemahaman teologis mengenai purgatory tidak lepas dari usaha untuk menjawab persoalan pokok yaitu nasib orang mati dan akhir dunia.  Sebetulnya, yang pertama-tama memikirkan purgatory adalah Gereja Timur. Gereja Timut mulai dengan spekulasi teologis mengenai purgatory dan kemudian pemahaman ini dibawa oleh St. Agustinus ke Gereja barat, dan masih dipakai sampai sekarang.

Sejarah pemahaman teologi purgatory tidak bisa dilepaskan dari sejarah praktik mendoakan arwah orang mati yang sudah ada dalam Gereja awal. Dapat dipastikan semenjak abad kedua dan ketiga, sudah ada kebiasaan mendoakan orang mati, dan Ekaristi dirayakan untuk mereka. Praktik ini ada dalam baik tradisi Gereja Timur maupun Barat. Bahan ada kesamaan yang mendasar dari kedua tradisi tersebut. Doa tersebut memohon istirahat kekal bagi yang telah mati, karena belum pasti apakah ia sudah masuk dalam istirahat kekal, dan yang juga memohonkan ampun bagi dosa-dosa orang yang sudah mati.

Ajaran mengenai purgatory, mulai berkembang dalam periode patristik, yang biasanya mengacu pada Kitab Suci mengenai keselamatan dan pemenuhan keselamatan (Finkenzeller, J., 1995, hlm. 19). Ajaran ini terus berkembang sampai pada soal proses penitensi, yang sampai pada abad keenam hanya boleh diterima sekali seumur hidup. Dalam paham Gereja barat, pengampunan dosa berarti telah menjalani hukuman dosa, yang harus secara tuntas dilaksanakan setelah kematian.

Pemahaman purgatory sebagai ‘api penyucian’ juga berkembang pada periode patristik, terutama dari Gereja timur. Ada dua pemahaman akan purgatory yang muncul pada masa para Bapa Gereja, yaitu sebagai pemurnian oleh api sebelum masuk neraka dan sebagai cobaan dari setan. Clemens dari Aleksandria (± thn.150-215)adalah penulis pertama soal penyucian sebagai api[3]. Dikatakan, jiwa orang berdosa yang mati didamaikan dengan Allah tapi belum sempat lakukan penitensi, disucikan oleh api yang tidak memakan habis (to pamphagon) seperti api pandai besi untuk menempa,  Tapi ini adalah api ‘cerdas’ (to phronimon) yang menembus jiwa dengan memotongnya. Bagi Clemen, ini bukan api yang bersifat material tapi sebuah api pengudusan, yang punya kualitas tertentu yang seperti Logos (Ibr 4:12) dan yang bisa dipandang sebagai tindakan Roh Kudus.

Sedangkan Origenes (thn.185-252) membedakan api penyucian dengan api neraka. Istilah ‘api’ 1 Kor 3:13 bagi dia secara eksplisit menunjuk  pada pedang kerub dalam Kej 3:24[4].  Refleksinya lebih lanjutnya adalah: Yesus akan hadir berdiri di sungai api itu, didampingi pedang bernyala. Siapapun yang mati, berharap dapat menyeberang menuju sorga dan butuh dimurnikan dengan dibaptis di sungai api sehingga sampailah ia di tempat yang dikehendakinya. Tapi siapa saja yang tidak dimeterai dengan baptisan seblumnya (baptisan Yohanes dan baptisan Kristus), dia tidak akan membaptis dalam sungai api.

Gagasan pedang bernyala-nyala sebagai bentuk penyucian juga dikembangkan Bapa-bapa Kappadokia[5]; api penyucian memberikan jalan ke sorga bagi para pendosa, kesatuan dengan Bapa hanya mungkin bagi mereka yang telah disucikan jiwanya. Bagi Yohanes Krisostomus (thn.354-407), proses penyucian berkaitan dengan seluruh dunia, karena semua umat beriman adalah satu tubuh, maka patutlah mendoakan mereka yang belum memperoleh pengampunan dari Tuhan.

Pemahaman purgtory sebagai suatu proses juga mengalami perkembangan disini. Paham ini muncul dari tulisan Paulus dalam Ef 2:2 yang berbicara soal penguasa kerajaan angkasa dan Kol 2:15 yang berbicara kemengan Kristus atas penguasa dan pemerintah. Gambaran ini khas milih teologi Yudeo-Kristen (emmanuel), setan mendiami angkasa dan orang kristen harus melawan roh ini. Dalam bukunya Life of St. Anthony, Athanasius (thn.293-373) memaparkan penglihatan St.Anthonius.St Antonius dibimbing malaikat naik ke sorga, tapi setan2 angkasa selalu menghalanginya untuk sampi ke sorga. Seperti halnya Paulus, disini  mengandaikan adanya sebuah kosmologi dan eskatologis yang di dalamnya ada jalan ke surga, yang harus dilalui. Ujung jalan tersebut adalah sorga, dan harus dilalui melalui kehidupan di dunia tapi masih berlangsung terus setelah kematian melalui tindakan penyucian dalam tahap berturut-turut.

Secara umum ada perbedaan pandangan Gereja Barat dan Timur. Gereja Barat memandang bahwa penyucian setelah kematian tersebut adalah hukuman yang alami. Hukuman tersebut adalah kodrat dari dosa. Bapa Gereja yang cukup berpengaruh adalah Tertullianus, Cyprianus dan Augustinus. Sedangkan Gereja Timur memandang penyucian tersebut sebagai proses pendewasaan.  Peristiwa penitensi dipandang sebagai pendidikan spiritual, sebagai obat, terapi. Dosa sebagai sebagi ‘sakit jiwa’ disembuhkan dengan penitensi yang dijatuhkan oleh imam. Proses tersebut masih berlanjut setelah kematian. Bapa Gereja yang cukup berperan adalah Clemens dari Aleksandria, Origenes dan Yohanes Krisostomus (Lanne, E., 1992, hlm. 13).

3.Ajaran Gereja

Purgatory, dalam gambaran populer di Gereja Barat pada abad pertengahan, adalah sebuah tempat hukuman dan pemurnian melalui api yang harus dilalui manusia dalamjangka waktu tertentu yang dihitung dalam hari, bulan dan tahun-tahun, sesuai ukuran waktu dunia. Ada kalanya, gambaran ini dipakai para teolog maupun penulis spiritual untuk menggambarkan proses pemurnian. Namun penggambaran ini tidalah dipakai Gereja secara resmi sebagai ajaran iman. Ajaran mengenai purgatory muncul pada Konsili Lyons, Florens dan Trente.

3. 1. Konsili Lyon II (thn. 1274)

Pada konsili ini, dihasilkan ajaran berkaitan dengan purgatory, [1]jiwa-jiwa kaum beriman yang telah mati (disertai rasa sesal dan dalam cinta Tuhan) mengalami proses penyucian. Proses tersebut terjadi setelah peristiwa kematian (post mortem purgari). Jiwa-jiwa tersebut akan mengalami derita yang menyucikan, dan [2] doa-doa (demikian pula dengan korban Ekaristi, derma, tindakan saleh yang diatur oleh institusi resmi Gereja)dari orang yang masih hidup berfungsi untuk mengurangi derita tersebut.

3. 2. Konsili Florence (thn. 1431-1442)

Dalam konsili ini, tidak ada rumusan baru mengenai purgatory. Konsili Florence akhirnya menyetujui rumusan yang dipakai oleh Konsili Lyon II. Selama konsili, terjadi perdebatan cukup panjang mengenai tema ini. Gereja nampaknya cukup berhati-hati membatasi rumusan yang dipakai oleh umum. Namun kata “api” tidak dipakai.

Tidak dipake api dalam purgatory, terus, bagian dari ajaran dogma Katolik Gereja.

3. 3. Konsili Trente (thn. 1545-1563)

Pada tahun 1563, tema purgatory dibahas dalam konsili ini. Trente masih memakai istilah yang dipakai pada konsili Lyon maupun Florence. Istilah purgatory masih dipakai namun tidak disertai dengan penjabaran mengenai isi dari istilah ini. (Schreiter,R.J, 1985, hlm. 170).

Aspek lain yang patut dicatat adalah pembahasan mengenai tindakan apa yang bisa diambil dalam paham purgatory. Trente memerintahkan para uskup untuk menghindarkan pertayaan-pertanyaan sulit dan detail mengenai purgatory dalam kotbah-kobtah bagi umat yang sederhana. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dinilai tidak berguna bagi hidup rohani dan kesalehan.  Memang, dalam konsili Trentepun masih banyak hal yang tidak jelas mengenai purgatory. Namun sudah ada gerakan untuk menghindari gambaran yang bersifat tahayul mengenai purgatory. Oleh sebab itu, maka bila ada pertanyaan-pertanyaan rumit dan sulit dijawab, tidak perlu ditanggapi atau dijawab.

Tahun 1547, Trente menghasilkan Kanon 30[6], yang berisi soal purgatory. Ada tiga hal yang bisa disimpulkan dari kanon ini.

  1. Purgatory dinyatakan ada. Walau tidak langsung berhubungan dengan apa itu pugatory, namun lebih berkaitan dengan pembenaran yang diperoleh berkat korban Kristus
  2. Kanon ini hendak mengafirmasi paham bahwa dosa akan diampunisaat rahmat pembenaran diterima. Walaupun demikian, namun tindakan nyata dalam semangat penitensi (puasa, derma, ziarah, dll), tetap diperlukan. Tindakan penitensi tersebut dapat membawa perubahan atau transformasi hidup manusia. Pada akhirnya, manusia bertransformasi, semakin bertumbuh dalam kesatuan hidup dengan Kristus dan cintaNya. Dengan demikian, walaupun kita dibenarkan karena pengampunan dan rahmat dari Kristus, kita masih harus mewujudkan transformasi tersebut selama hidup di dunia.
  3. Bila kemudian proses transformasi tersebut tidak selesai di dunia, maka akan dilajutkan setelah kematian (bdk 1Kor 15:51-52). Akhirnya, manusia mengalami perubahan yang sungguh-sungguh menjadi gambar Kristus. Dengan demikian ia dapat menjadi anggota penuh Tubuh-Nya. Karya Kristus sudah cukup dan penuh, tidak perlu ditambahi lagi, namun manusia harus alami transformasi oleh karya tersebut agar berpartisipasi secara penuh dalam Kristus dan kemuliaan Kerajaan Allah. (Lanen,E. 1992, hlm. 19).
3. 4. KV II dan paska KV II

Dalam konteks persekutuan para kudus, KV II membuat sebuah kiasan mengenai purgatory (Lanne, E., 1992, hlm. 21). LG. 51 menyebutkan,”…iman akan pesekutuan hidup dengan para saudara yang sudah mulai di sorga, atau sesudah meninggal masih mengalami pentahiran….” Dalam artikel tersebut, KV II kembali mengacu pada ajaran konsili-konsili sebelumnya, serta memuat ajakan untuk meluruskan kembali praktik maupun pemahaman yang bisa jadi disalahartikan. Ibadat yang sejati bukan diwujudkan dengan banyaknya perbuatan lahiriah, tapi terutama disertai dengan cinta kasih dan tindakan nyata.

Selain itu ada pula dokumen yang dikeluarkan tgl 17 Mei 1979 oleh Konggregasi Suci untuk Ajaran Iman. Dokumen ini berusaha menyimpulkan iman Gereja mengenai purgatory. Gereja percaya adanya penyucian dari kaum yang terpilih. Penyucian ini juga sama sekali berbeda dengan siksa bagi orang-orang terkutuk di neraka. Dalam dokumen ini, yang lebih ditojolkan adlah soal kemungkinan penyucian bagi jiwa kaum beriman, dan pembedaannya yang jelas dengan siksa neraka. Sebagai tambahan, dalam teks ini juga membahas peringatan Konsili Trente mengenai bahaya munculnya gambaran yang bisa memunculkan kesulitan bagi Gereja untuk menjelaskan purgatory (Schreiter, R.J., 1985, hlm.175).

4. Refleksi Sistematis

Terbatasnya penjelasan Gereja dalam ajaran purgatory, memberi banyak kemungkinan perkembangan refleksi teologis tentang purgatory. Namun demikian, satu hal yang harus dicatat adalah pentingnya bertahan pada magisterium Gereja Katolik. Ajaran bahwa purgatory adalah ada, harus menjadi titik pijak dari seluruh reflesi teologis. Purgatory sebagai suatu fase bukan neraka tapi juga belum sorga diyakini ada. Sebetulnya, hal ini sungguh logis, karena adalah tidak adil bila Allah hanya melulu menyediakan sorga atau neraka. Seakan-akan manusia memang dibedakan antara dua hal yang bersebrangan jauh itu, sungguh-sungguh baik dan suci sehingga masuk sorga atau sungguh-sungguh jahat melawan Allah sehingga masuk neraka. Dalam kehidupan sehari-hari, bukankan lebih sering dijumpai kenyataan bahwa manusia ada dalam situsi diantaranya, sangat suci juga tidak namun sangat jahat juga tidak. Maka pemahaman purgatory sendiri mempunyi pendasaran yang cukup logis dalam reflesi atas kehidupan manusia.

Secara umum, ada perbedaan Gereja Barat dan Timur. Gereja Timur menekankan purgatory sebagai proses pedewasaan, proses transformasi menuju kepada yang suci, sedangkan Gereja Katolik lebih terbuka melihatnya sebagi proses pemurnian. Maka masih ada kemungkinan untuk berspekulasi dalam menjelaskan purgatory. Satu yang pasti adalah bahwa purgatory adalah ada, sedangkan penjelasannya masih banyak kemungkinan pemikiran.

Beberapa teolog Barat kontemporer nampaknya melihat sisi pendewasaan dalam proses penyucian, seperti halnya gagasan dalam Gereja Timur. Bagi Karl Rahner, dalam purgatory manusia yang multi dimensi tersebut disatukan dalam pilihan dasar selama hidupnya. Prose ini dapat didukung oleh orang yang masih hidup, karena komunikasi cinta antara orang-orang yang bersatu dalam Kristus. Sedangkan bagi Kardinal Ratzinger, tidak mungkin menggambarkan purgatory dengan ukuran kategori manusiawi atau duniawi. Lama singkatnya purgatory tergantung pada kesediaan jiwa-jiwa untuk ‘diproses’, pada kesediaan untuk ‘dibakar’ dalam perjalanan menuju kepada Bapa.

Secara lebih spekulatif, proses penyucian tersebut dimengerti sebagai keinginan/hasrat penuh cinta untuk dibebaskandari cacat yang menjadi halangan manusia untuk bertemu Allah (Finkenzeller,J., 1995, hlm. 561). Kesadaran kedosaan manusia ini membawa gerak transformasi manusia untuk menjadi lebih murni di hadapan Allah. Karena hidup di dunia tidak mencukupi, maka dipikirkan adanya proses yang harus dilalui untuk sampai kepada Allah. Dalam teologi Barat, tujuan penyucian tersebut dipahami sebagai hukuman sementara untuk dosa-dosa yang belum diampuni. Hukuman sementara ini adalah konsekuensi dari kodrat dosa. Bukan karena ‘proses pengadilan’  yang bersalah lalu  dihukum Allah, namun lebih karena sudah pada kodratnya, dosa puya konsekuensi penyucian.

Reflesi teologis purgatory membantu manusia untuk terus memaknai dan menjalani hidupnya dalam kerahiman Allah. Praktik doa dan laku tapa dapat menjadi tempat persatuan komunitas anak-anak Allah. Namun juga harus disadari, ungkapan ‘api penyucian’ dapat membawa gambaran yang keliru tentang purgatory. Di satu sisi ungkapan ini akhirnya membawa konsep lokalisasi atas proses pemurnian, tapi di sisi yang lain tidak mampu menggambarkan arti multi-simbolis dari penggabaran ‘api’ dalam Kitab Suci.  Penyucian adalah saat manusia melihat dirinya dalam keadaan yang sesungguhnya. Kesadaran akan ketidakmurnian tersebut membawa pada proses penyucian.


Daftar bacaan:
1. Buku dan artikel

Finkenzeller, Josef, Purgatory dalam  Handbook of Catholic Theology ed. Wolfgang Beinert dan Francis Schuussler Florenza, Crossroad, New York: 1995.

Konfensi Waligereja Indonesia, Iman Katoli, Kanisius, Yogyakarta: 1996.

Lanne, E., The Teaching of the Catholic Church on Purgatory dalam One In Christ, (028:000)0013-0030, 1992

Schreiter, R.J., Purgatory; in quest of an Imange dalam Chicago studiesi, (024:000)0167-179, 1985

Tabor, James, D., What the Bible Says About Death, Afterlife, and the Future, dalam Chicago studiesi, (011:001)058-066, 1980

2. Artikel dari Internet

Amstrong, Dave, The Development of Old Testament and Jewish Views of Sheol, the Afterlife, and Eternal Punishment, http://ic.net/~erasmus/ERASMUS6.HTM

_____________, Biblical Overview of Penance, Purgatory & Indulgences: “Saved As By Fire”, http://ic.net/~erasmus/ERASMUS6.HTM

Hanna, Edward J., Purgatory, http://www.newadvent.org

Kirsch, J.P.,  Council of Trent, http://www.newadvent.org

Scannel, T.B., Christian Doctrine, http://www.newadvent.org

Toner, P.J., Prayers for the Dead, http://www.newadvent.org


[1] Makalah ini memakai sistimatisasi purgatory tulisan Josef Finkenzeller dalam  Handbook of Catholic Theology ed. Wolfgang Beinert dan Francis Schuussler Florenza, 1995, Crossroad, New York dan diperdalam dengan tulisan Emmanuel Lanne O.S.B. yang berjudul The Teaching of the Catholic Church.

[2] Pembahasan selanjutnya akan memakai istilah “purgatory”, untuk menjernihkan pemahaman mengenai proses penyucian, yang tidak berkaitan lansung dengan api dan suatu tempat.

[3] Api yang dimaksud bukanlah sama dengan api material. Api ini tidak menghancurkan, tapi berdaya menguduskan jiwa.

[4] Yesus berdiri di seberang sungai api. Orang harus melalui sungai api dan dibaptis dalam api agar bisa bersatu dengan-Nya.

[5] Basilius (329-379), saudaranya Gregorius dari Nyssa (335-394)  dan rekannya Gregorius dri Nanzianzus (329-389).

[6] If anyone should say: after the reception of the grace of justification, the fault of a repentant sinner is removed an the imputation of eternal pusnishment is suppreddedd to such an extent that there remains no imputation of temporal punishment to be removed either in this world or in the future world in purgatory, before the way to the heavenly kingdom can lie open: let him be anathema.